 
Ilustrasi Gambar_Pinterest
Oleh: Samara Nur Afiah (Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)
Dalam perjalanan hidupku, terkadang aku menemukan diriku di persimpangan, mempertanyakan makna hubungan dan ikatan yang aku miliki. "Apakah aku benar-benar memahami apa itu keluarga?"
Aku lahir dari keluarga yang terpecah, dan ketika orangtuaku menikah lagi, seorang adik tiri hadir dalam hidupku. Dia datang ke dalam hidupku sebagai seseorang yang tak pernah aku bayangkan akan menjadi bagian penting dari perjalananku. Kehadiran adikku membawa perasaan campur aduk antara harapan, kebingungan, dan sedikit kekhawatiran dalam benakku.
Meski pada awalnya aku merasa asing, perlahan aku belajar untuk menerima dan memahami adikku. Saat teman-temanku memiliki keluarga yang utuh, aku dihadapkan dengan tantangan untuk membangun ikatan baru. Aku belajar untuk menerima dan mencintai adik tiriku, meskipun awalnya itu tidak mudah.
Saat aku tumbuh dewasa, aku mulai menyadari betapa beratnya tanggung jawab sebagai seorang kakak, terlebih lagi sebagai kakak tiri. Aku harus bisa melakukan semuanya sendiri, menjaga diriku sendiri, dan tentu menjaga adik tiriku. Meski aku tahu orangtuaku melakukan yang terbaik untuk aku dan adikku, terkadang aku merasa beban itu terlalu berat untuk dipikul sendiri.
Kata orang, adik tiri sering kali membawa konflik. Dulu aku membenarkan ucapan jelek itu, sempat juga membenci atas kehadiran adik tiriku. Ada saat di mana aku merasa terasing dan kesepian. Aku menutup diri dan tidak membagikan perasaanku kepada orangtuaku, karena aku tidak ingin menambah beban mereka. Meskipun orangtuaku selalu memberikan nasihat, bagiku itu itu tidak cukup.
Aku ingin mereka mendengarkan dan memahami perasaanku, bukan hanya sekedar memberikan nasihat. Tapi orangtuaku sering kali menganggap remeh perasaanku, berpikir bahwa selama ini terlihat baik-baik saja, semuanya akan berjalan baik. Di dalam hatiku, ada kekosongan yang sulit diisi. Ternyata, aku belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan ini.
Namun dibalik segala upaya, aku menyadari bahwa keluarga adalah tempat di mana aku dan adikku bisa saling menerima apa adanya. Meskipun belum sepenuhnya, aku belajar bahwa menerima kenyataan adalah langkah awal menuju kehangatan keluarga.
Lambat laun, aku mulai mengamati adik tiriku dengan cara yang berbeda. Aku melihat perjuangan, kebingungan dan bagaimana adikku berusaha keras untuk diterima dalam keluarga. Adikku yang juga kehilangan sebagian kecil dunia ketika orangtua bercerai, mencoba sebaik mungkin untuk menyesuaikan diri. Di sinilah, aku menyadari bahwa adikku berbagi rasa sakit yang sama, meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda.
Saat adikku jatuh sakit, itu adalah salah satu momen pertama kali paling menyentuh dalam interaksi antara aku dan adikku. Aku mengambil peran sebagai pengasuh dan merawat adikku dengan penuh kasih sayang seperti yang seharusnya seorang kakak lakukan. Melihat adikku lemah membuatku merasa tersentuh untuk melindungi dengan segenap kemampuanku.
Ketika sedang dalam masa pemulihan, adikku minta dibelikan cimol langganan di depan sekolah adikku. Saat aku memberikan cimol tersebut, aku melihat senyum kecil yang merekah di wajahnya. Itu adalah momen kecil, tetapi berarti banyak bagiku. Di saat itulah aku merasa bahwa meskipun terkadang hidup memberikan cobaan yang berat, ada kebahagiaan kecil yang bisa aku temukan bersama orang-orang terkasih.
Itu adalah momen di mana aku mulai merangkul semua kenyataan yang diberikan Tuhan, dan belajar untuk menerima dan mencintai adikku apa adanya. Sejak itu, aku sudah menerima adikku menjadi bagian terpenting dihidupku.
Kini, aku memandang adik tiriku dengan mata yang lebih penuh pengertian. Aku mengerti bahwa kehadiran adikku bukan hanya untuk mengisi ruang kosong, tetapi untuk melengkapi bagian yang hilang dalam kehidupanku. Kini aku menemukan makna dalam ikatan keluarga untuk ikhlas saling menerima, saling mendukung, dan saling menguatkan.
 
     
 
 
 
 
 







