ilustrasi.net
Oleh: Evelin Felisa Pohan (Program Studi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta)
Mataku memejam kala kedua tangan ibu membelai surai panjangku. Tangannya dengan telaten mengikat rambutku. Seketika, tubuhku seolah terbawa kembali pada masa kecil. Saat di mana aku selalu menginginkan ibu untuk mengepang rambutku, pagi-pagi hari sekali sebelum berangkat bersekolah.
Sesekali, tangan ibu menyentuh pelipisku. Sentuhan yang menyadarkanku bahwa kedua tangan ibu sudah tidak selembut dahulu lagi. Permukaan telapak tangannya mulai terasa kasar. Sesekali pula aku melirik siluet ibu dalam cermin, lalu menyadari kerutan di sekitar matanya saat ibu tertawa pada leluconku. Hatiku linu menyadari bahwa telah begitu banyak hari, bulan, dan tahun yang telah berlalu. Kini, ibu sudah tidak muda lagi.
Sewaktu kecil, aku bertanya-tanya, bagaimana rasanya menjadi orang dewasa? Pergi bersekolah, lalu mampir ke pusat belanja bersama teman, beralibi hendak mengerjakan tugas bersama. Kemudian, entah bagaimana, tiba-tiba ibu memerintahku untuk menyetrika seragam sekolahku sendiri, berangkat dan pulang sekolah berjalan kaki, dan mengganti sepeda roda empatku dengan sepeda roda dua. Sesuai harapku, kini aku tumbuh menjadi dewasa.
Ketika tumbuh dewasa, aku mulai mengenal cinta yang bukan hanya datang dari kasih sayang ibu dan ayah, berpergian kemana pun tanpa ditemani ibu, dan melakukan aktivitas orang dewasa pada umumnya. Namun, kala kakiku menapak pada usia kepala dua, aku mulai mengubah keinginanku menjadi satu hal. Aku ingin ibu menjadi abadi. Aku menginginkan ibu di sepanjang hidupku. Aku tidak ingin menyaksikan ibu berada di dalam peti kayu dengan bibir pucat dan kulit yang menguning akibat suntikan formalin.
Andai saja aku dapat memberi tahu Si Kecil Aku bahwa tumbuh dewasa artinya menyaksikan ibu menua. Di mana menyaksikan ibu menua sama artinya dengan menyaksikan kerutan di wajah ibu, juga menurunnya kesehatan ibu. Andai saja Genie, sang tokoh kartun yang dapat mewujudkan keinginan Aladdin itu, datang memberikanku satu permintaan. Maka tanpa ragu aku akan memohon kepadanya untuk dikembalikan pada masa kecil. Kemudian, aku akan menikmati kasih sayang ibu pada masa itu tanpa terburu, tanpa mendambakan tumbuh menjadi seorang gadis, seperti aku yang saat ini.
Lagipula, apa istimewanya menjadi dewasa? Selain menyaksikan ibu dan ayah menginjak lanjut usia, aku juga menghadapi berbagai beban hidup yang berat. Buruknya, aku tidak lagi bisa dengan leluasa bersembunyi di balik punggung ibu saat tidak cukup berani menghadapi suatu persoalan. Buruknya lagi, mengadu kepada ayah juga bukan solusi karena yang terucap dari mulutnya kini pastilah, “kan sudah besar, kamu harus mandiri!”
Bu, tinggi badanku mungkin sudah menyaingimu, tetapi tataplah aku sebagai anak kecil yang selalu ingin dimanja. Anak kecil yang selalu ingin dipeluk, dibelai, dan dituntun ke mana pun kakiku melangkah. Bu, tanpamu sudah jelas aku akan hilang arah. Ibu ibarat sebuah kompas, sedangkan aku hanyalah penjelajah alam amatiran yang bisa kapan pun tersesat tanpa tahu arah.
Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana cara mereka yang menyaksikan ibunya pergi dapat menyambung hidupnya kembali? Jika aku berada di posisi mereka, mungkin aku takkan sanggup menyambung hidupku sendiri. Bukankah dunia ini terasa pahit tanpa belaian seorang ibu? Iya, Bu, aku hanyalah jiwa seorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh gadis dewasa. Tidak ada jalan lain selain menetap di dalam tubuh yang sok besar dan sok kuat ini, tetapi tetap akulah anak kecil kepunyaan Ibu.
Aku benci memikirkan bahwa akan ada hari di mana duniaku runtuh oleh berita kepergian Ibu. Maka makanlah makanan yang sehat dan pergilah lari pagi di sekitar perumahan bersamaku. Sebab semua yang kularang dan kuminta kini semata-mata untuk menjagamu tetap ada. Panjang umurlah, supaya kelak aku bisa berbagi kabar bahagia ketika menyaksikan anakku berjalan untuk pertama kalinya.
Mungkin saja Ibu akan menjulukiku sebagai Si Bongsor yang Manja ketika Ibu menemukan bacaan ini suatu hari nanti, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak takut jika orang-orang mengecapku sebagai gadis yang terjebak pada masa kecilnya. Justru akan lebih menakutkan jika harus kehilangan Ibu di saat belum sempat mencuri seluruh kasih sayang yang Ibu punya. Jadi, selama Ibu masih ada di dunia, aku ingin mencuri habis-habisan seluruh perhatian, cinta, dan kasih sayang itu.
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan untuk diambil kembali. Begitu pula dengan kehadiran seorang ibu, yang akan pergi dimakan oleh masanya sendiri. Mungkin aku perlu belajar kembali melalui mereka yang telah lebih dahulu menghadapi kerasnya dunia tanpa sosok ibu. Aku perlu mempelajari dan memahami bahwa rasa takut kehilangan diciptakan agar aku dapat menghargai seluruh waktu yang masih kupunya. Jadi, mari nikmati waktu yang masih kita punya, Bu. Aku mencintaimu. (efp)