Oleh : Elfahmi lubis
"Orang miskin dilarang sekolah"
"Orang miskin dilarang sakit"
Kalimat diatas sengaja saya jadikan dasar argumentasi dalam tulisan ini, sebagai bahan renungan dan intropeksi bagi kita semua bahwa ada persoalan serius yang terjadi dalam pengelolaan dan pelayanan pendidikan serta kesehatan pada bangsa ini. Dalam konstitusi pasal 31 ayat (1) sangat tegas bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Selanjutnya, pasal 31 ayat (4) berbunyi : “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Mandat konstitusi ini diberikan kepada negara untuk memberikan jaminan atas hak mendapatkan pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Ketika negara abai memberikan jaminan pendidikan bagi warga negara, sama artinya negara melanggar perintah konstitusi dan menjadi kewajiban rakyat menuntut pertanggungjawaban.
Saya ingin mencoba mengulas kejadian "ijazah" siswa yang lagi viral saat ini, dari perspektif pendidikan untuk semua (education for all). Kasus ini bermula dari unggahan di media sosial, dimana curahan salah seorang siswa yang meminta bantuan kepada walikota dan wakil walikota Bengkulu, agar dapat membantu menyelesaikan pengambilan ijazahnya yang masih "tersimpan" di sekolah karena ada masalah administrasi yang harus diselesaikan. Unggahan curahan siswa ini mendapat respon masyarakat luas, dan memaksa walikota dan wakil walikota turun tangan langsung membantu sang anak untuk mendapatkan ijazahnya. Info terakhir, ijazah sang anak sudah diberikan dan masalah administrasi yang timbul sudah diselesaikan walikota.
Persoalannya muncul kemudian, pasca kejadian ini adalah ternyata ada pihak yang merasa "tersinggung" dan menyeret isu yang awalnya murni soal kemanusiaan ini untuk ditarik-tarik ke ranah politik. Hal ini terlihat dari pernyataan sikap organisasi profesi guru yang intinya meminta agar kasus ini tidak "dipolitisasi".
Kalau menurut pandangan saya, mari letakkan persoalan ini pada subtansi masalah pokoknya, bahwa ada problem dalam pengelolaan dan pelayanan pendidikan di daerah ini. Terutama berkaitan dengan. akuntabilitas dan transparansi yang dibangun oleh penyelenggara pendidikan. Sebenarnya jika mau jujur, kejadian ini bisa diselesaikan oleh pihak sekolah tanpa harus melibatkan pihak eksternal, apalagi sampai kepala daerah yang harus turun tangan langsung, jika memahami fungsi penyelenggaraan pendidikan. Dimana ada tanggung jawab negara yang dimandatkan kepada pihak sekolah untuk memberikan jaminan keberlangsungan pendidikan setiap warga negara.
Sebenarnya sudah ada instruksi, baik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama, serta masing-masing kepala daerah, agar sekolah memberikan ijazah kepada seluruh siswa tanpa terkecuali. Namun dalam realitasnya masih saja setiap tahun mencuat kasus serupa. Oleh sebab itu, belajar dari kejadian ini diharapkan kepala daerah melalui Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota/Kabupaten untuk membuat edaran atau semacam SOP kepada masing-masing sekolah baik negeri maupun swasta, dan untuk semua jenjang pendidikan agar tidak menahan ijazah siswa karena alasan administrasi. Selain itu berikan kepada pihak sekolah diskresi untuk mengatasi jika ada siswa yang bermasalah biaya ketika akan mengambil ijazah. Misalnya, tunggakan biaya tersebut bisa ditutupi dari dana BOS, dana rutin, atau lain sebagainya. Sepanjang uang tersebut benar-benar digunakan untuk mengatasi masalah keuangan siswa yang tidak mampu dan jelas pertanggungjawabannya, saya pikir secara hukum tidak ada problem.
Dari kejadian ini juga kita dapat jadikan bahan evaluasi berkaitan soal akuntabilitas para penerima beasiswa di sekolah. Artinya, dari kejadian ini berarti ada problem soal kriteria siswa yang harus diusulkan untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah atau pihal lain. Seharusnya, siswa tidak mampu wajib mendapatkan beasiswa dan itu sudah menjadi tanggung jawab negara. Oleh sebab itu kedepan proses seleksi siswa penerima beasiswa harus benar-benar selektif dan tepat sasaran.
Dari kasus ini juga harus menjadi bahan evaluasi juga bagi semua pemangku kepentingan soal apakah masih diperlukan atau tidak keberadaan komite sekolah?. Seharusnya, kejadian ini tidak harus mencuat seperti saat ini, jika pihak komite sekolah mampu menjembatani kepentingan orangtua siswa dengan pihak sekolah. Jadi fungsi komite itu bukan hanya sekedar untuk melegalisasi "sumbangan" kepada orangtua siswa, tapi lebih jauh dari itu harus menjadi media mediasi antara orangtua siswa dengan pihak sekolah.
Terkait isu "politisasi" kasus, saya tidak melihat ada politisasi. Soal ada persepsi kearah itu tidak bisa dihindari di era sosial media seperti sekarang ini. Namun dalam kerangka prasangka baik, saya melihat apa yang dilakukan walikota hanya keterpanggilan rasa kemanusiaan dan tanggung jawab sebagai kepala daerah yang mengayomi warganya. Soalnya, dalam video unggahan siswa yang viral itu sangat jelas sekali sang anak meminta tolong kepada walikota agar bisa membantu untuk mengambil ijazahnya. Lalu permintaan sang anak, direspon oleh walikota dengan kesediaan membantu agar sang anak mendapatkan ijazahnya. Kalau dianggap walikota "mempolitisasi" kejadian ini saya pikir terlalu berlebihan dan loss konteks. Tapi sekali lagi kalau ada orang dan pihak merasa kejadian ini telah "dipolitisasi" itu hak mereka dan di negara demokrasi setiap orang boleh mengekpresikan pendapatnya sepanjang taat asas.
Semoga kejadian seperti ini tidak terulang kembali dan mari jadikan bahan evaluasi dan intropeksi untuk membenahi pendidikan di daerah kita tercinta ini. Wassalam, Merdeka !