Foto by Pixels
Oleh: Aurellia Henyndraputri mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta.
Budaya ngaret telah menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari terutama di Indonesia. Budaya terlambat hadir ini terlihat jelas di sekolah, kantor, pertemuan, hingga acara sosial. Kebiasaan datang terlambat ini sering kali dianggap remeh oleh sebagian masyarakat.
Awal mula kata ngaret ini berasal dari kata dasar "karet" yang diketahui memiliki sifat longgar ataur melar. Oleh sebab itu, banyak anak-anak muda yang menggunakan istilah ngaret kepada orang-orang sering kali terlambat hadir atau tidak tepat waktu dari jadwal yang telah direncanakan.
Budaya ngaret tidak hanya terbatas pada karyawan kantor. Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, masalah keterlambatan meresap ke dalam transportasi umum. Antrian bus yang tak berujung dan kemacetan lalu lintas adalah alasan umum yang sering dikemukakan oleh penduduk setempat. Hal ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari, tetapi juga berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup.
Rata-rata orang Indonesia cenderung datang terlambat sekitar 15 hingga 30 menit dari waktu yang dijadwalkan. Hal ini mencerminkan budaya yang kurang menghargai waktu dan disiplin. Seperti pepatah yang mengatakan Time is Money yang memiliki arti bahwa waktu adalah uang. Penghargaan terhadap waktu adalah salah satu aspek penting dalam menciptakan masyarakat yang efisien dan produktif.
Namun, budaya ngaret juga mencerminkan karakter sosial masyarakat Indonesia yang santai dan ramah. Proses menunggu bersama sebelum memulai suatu kegiatan dianggap sebagai momen untuk memperkuat ikatan sosial dan membangun relasi yang lebih dalam. Tapi di sisi lain, keterlambatan ini juga bisa mempengaruhi efisiensi dalam pengelolaan waktu dan pengambilan keputusan yang tepat waktu.
Dampak budaya ngaret tidak hanya terasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam konteks ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan sering kali harus menghadapi tantangan dalam mengatur jadwal pertemuan dan proyek akibat karyawan atau rekan bisnis yang sering terlambat. Ini bisa mempengaruhi produktivitas, kualitas layanan, dan akhirnya berdampak pada reputasi perusahaan.
Upaya untuk mengubah budaya ngaret ini memerlukan pendekatan yang komprehensif. Selain perbaikan infrastruktur transportasi dan pengaturan lalu lintas yang lebih baik, pendidikan tentang nilai waktu juga harus dimulai dari sekolah. Masyarakat perlu disadarkan akan pentingnya disiplin waktu dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar bisa mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Terintegrasi dengan perubahan sosial yang lebih luas, langkah-langkah ini tentunya tidak hanya akan meningkatkan produktivitas tetapi juga memperkuat nilai-nilai kedisiplinan di seluruh lapisan masyarakat.