UU Cipta Kerja Mempermudah Proses Pembangunan Infrastruktur

Minggu, 11/04/2021 - 15:36
Foto Ilustrasi
Foto Ilustrasi

Oleh : Raavi Ramadhan

Pembangunan Infrastruktur merupakan salah satu indikator kemajuan suatu bangsa, pembangunan ini tentu harus didukung dengan adanya UU Cipta Kerja.

Pengadaan tanah untuk kepentingan masyarakat termasuk juga untuk pembangunan infrastruktur akan semakin mudah. Menyusul telah terbitnya aturan pelaksanaan dari undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021.

Plt Direktur Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Himawan Arief Sugoto, mengatakan, pemerintah akan terus melakukan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah.

Dalam pembangunan infrastruktur ini, salah satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah terkait pengadaan lahan.

Sebab menurutnya, agar pembangunan infrastruktur bisa lancar, maka pengadaan lahan juga harus cepat. Sehingga mekanisme pengadaan tanah memegang peran krusial dalam mendukung pembangunan infrastruktur nasional.

Himawan dalam keterangan pers-nya mengatakan, PP penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang terdiri dari 7 bab dan 143 pasal ini meliputi penyelenggaraan pengadaan tanah dan kemudahan pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional (PSN).

Mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan. Misalnya dari mulai tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta penyerahan hasil.

Ia juga menjelaskan bahwa pengadaan tanah merupakan tahapan awal dalam pembangunan infrastruktur sehingga dalam tahap perencanaan sangat penting, agar tahapan selanjutnya berjalan dengan lancar.

Sementara itu, Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Pengadaan Tanah, Arie Yuriwin, mengatakan tahapan perencanaan didasarkan pada rencana tata ruang dan prioritas pembangunan. Di samping itu juga instansi yang memerlukan tanah juga dapat melibatkan Kementerian atau Lembaga (K/L) di bidang pertanahan dan instansi terkait.

Diharapkan dalam tahapan perencanaan juga tidak terjadi perbedaan, maka Kementerian ATR/BPN akan turut serta dalam memberikan data agar tidak terjadi perbedaan data pada dokumen.

Sebelumnya, regulasi pengadaan tanah sudah ada sejak tahun 1990-an. Pada 1993, guna menjalankan kegiatan pengadaan tanah, pemerintah mengeluarkan keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) No.55/1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Pemerintah kemudian menerbitkan peraturan Presiden (perpres) No.36/2005 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dan Perpres No.65/2006 tentang perubahan Perpres No. 36/2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum.

Pada 2012 lalu, pemerintah telah menerbutkan undang-undang No.2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Kehadiran aturan ini sudah berjalan lebih baik.

Namun, masih juga terdapat kendala seperti dokumen perencanaan pengadaan tanah yang tidak didukung oleh data dan anggaran yang akurat, sehingga terjadi revisi karena tidak sesuai dengan kondisi fisik.

Hal tersebut mengakibatkan penambahan anggaran. Kemudian penetapan lokasi yang diterbitkan oleh gubernur, belum sesuai dengan tata ruang, akibatnya muncul penolakan dalam pelaksanaannya.

Sedangkan dalam Undang-undang No 11/2020 Tentang Cipta Kerja, telah memberikan terobosan dalam pelaksanaan pengadaan tanah. Sejumlah kendala yang dihadapi pada penerapan aturan sebelumnya  dapat diatasi.

Jika lokasi pengadaan tanah masuk dalam kawasan hutan, maka akan dilakukan pelepasan kawasan hutan, yang ketentuannya akan diatur dalam peraturan turunannya. Dalam UU Cipta Kerja, juga mengamanatkan kepada Kementerian ATR/BPN dalam menyusun perencanaan pengadaan tanah, tentunya Kementerian ATR/BPN akan banyak memberikan masukan dari aspek perencanaan.

Pada kesempatan berbeda, Surya Vandiantara selaku ekonom Universitas Muhammadiyah Bengkulu menilai, aktifitas seperti mengubah peruntukan lahan pertanian  sangat mungkin terjadi. Namun pemerintah tetap diikat oleh aturan, bahwa (pemerintah) bertanggung jawab pada produksi pangan dalam negeri.

Sehingga secara tidak langsung, hal tersebut mewajibkan pemerintah harus membuka lahan pertanian baru untuk mengganti lahan yang sudah dialihfungsikan.

Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 31 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 19 UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, dan pasal 124 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 44 UU No. 41 2009 tentang perlindugan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Undang-undang ini tentu saja tidak hanya mempermudah pengadaan lahan untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan perlindungan lahan pertanian yang keduanya dapat berjalan beriringan.

(Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini)

Related News