
Foto/Dinda Pramesti Kusumawardani
Oleh: Dinda Pramesti Kusumawardani (Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta)
“Untuk matahariku yang selalu ku rindukan disetiap sujudku, ini adalah perasaan yang tak bisa kusampaikan dengan baik”
Kasih sayang ibu sepanjang masa, kasih sayang anak sepanjang galah. Bagi setiap insan, sosok ibu adalah tempat berteduh yang selalu setia menunggu. Kasih sayang yang tiada batas, tak lekang oleh waktu.
Memori masa kecilku tidak pernah lepas dari sosok ibu. Lembutnya belaian tangannya yang mengelus pucuk kepalaku, hangatnya pelukan darinya kala aku sedang sedih maupun senang, serta senyum manis dari bibir indahnya selalu terpatri dari wajahnya. Ibu adalah orang yang pertama sigap menghapus air mata di pipiku, orang yang mengajarkanku arti kehidupan dan kasih sayang hingga waktunya telah habis dari dunia ini. Seribu bintang di langit tidak bisa menggambarkan betapa banyaknya yang telah ibu lakukan untukku selama ini.
Semburat jingga menghias langit Jakarta hari ini. Aku terduduk diam di samping jenazah ibuku. Perlahan air mata jatuh ke pipi, mulutku rapat, dan mataku menatap kosong ke arah tubuh ibuku yang terbujur kaku di depanku.
Apa ini, Tuhan? Kenapa Engkau berikan kesedihan yang teramat menyakitkan padaku? Sakit sekali rasanya. Hatiku terpalu-palu. Rasa sakit yang tak bisa kujelaskan ini sangat menyesakkan. Riuh kesedihan di sekelilingku tak lagi kuhiraukan.
Bagaimana ini? Rasanya aku seperti kehilangan arah hidupku. Aku bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal dengan benar. Aku tidak bisa mengucapkan selamat tinggal. Untuk berbagai macam alasan, sesaat aku tak bisa merelakan kepergian ibuku. Hatiku berteriak berharap ini hanyalah mimpi. Namun, nyatanya jarak antara kita sudah tak terhitung jauhnya.
Hari makin larut, esok pagi jenazah ibuku akan dikebumikan. Aku kembali ke kamarku untuk beristirahat. Sulit bagiku untuk tertidur. Aku terus menangis mengingat kenangan bersama ibuku yang terus berputar seperti kaset rusak. Hatiku sakit, aku menangis tersedu. Sesak. Kebiasaan menangisku yang tanpa suara menyiksaku secara perlahan.
Tuhan.. mampukah aku bertahan di tengah kesedihan yang menderu ini? Di hari tahun baru ini, hanya kenangan yang tersisa. Di rumah ini, di dalam kamar gelap aku duduk di atas sajadah merah. Aku mengadu pada Tuhan, betapa sedihnya aku saat ini.
Seseorang datang mengetuk pintu kamarku. Suara pamanku terdengar dari luar pintu kamar, “Dek, paman izin masuk ya?” Ucapnya. Tterlihat gurat kesedihan dari wajahnya melihatku menangis di atas sajadah. “Yang sabar ya, semua yang datang akan pergi saat waktunya telah tiba,” ucap pamanku sambil mengelus pucuk kepalaku dengan lembut.
Aku tahu itu, aku tahu bahwa setiap yang bernyawa akan kembali kepada sang pemilik kehidupan. Tetapi tetap saja, rasa sakitnya benar-benar tak terkira.
Lelah karena terus menangis, aku bangkit dari atas sajadahku dan keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil minuman. Baru dua langkah keluar dari kamarku, kakiku berhenti bergerak. Aku terpaku melihat kakak pertama dan keduaku yang tertidur di samping jenazah ibuku. Sedih, rasanya aku ingin segera kembali ke kamar dan menangis kembali. Tetapi, aku tetap berdiri diam menatap mereka yang menangis dalam tidurnya. Aku tahu mereka tidak akan benar-benar bisa tertidur hari ini.
Tengah malam, warga di sekitar tempat tinggalku telah pulang meninggalkan rumah duka. Sepi, rumahku mulai sepi. Saat sedang memperhatikan kedua kakakku, perlahan telingaku mendengar suara ayahku sedang membaca surah Yasin di ruang tamu tak jauh dari jenazah ibuku. Di tengah riuhnya suara di luar sana, aku melihat ayahku dengan tenang membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an ditangannya.
Pagi hari tiba, mata ini telah membengkak karena terlalu lama menangis. Kakiku melangkah mengikuti kerangka jenazah. Sekarang, orang yang paling aku cintai di dunia ini telah berada di bawah tanah yang dingin dan gelap. Aku menahan tangisku, tidak ingin mempercayai ini. Rasanya baru kemarin aku masih tertawa bersamanya, menikmati pelukan hangatnya, dan mendapatkan ungkapan kasih sayang darinya.
Tetapi sekarang ibu sudah tidak bisa lagi ada di sini bersamaku. Tanah merah dan basah di hadapanku ini adalah alasan aku tak bisa lagi melihatnya. Padahal, aku berharap bisa membahagiakannya. Namun, kesempatan itu tak bisa lagi ku dapatkan.
29 Desember adalah hari ulang tahun ibuku. Seharusnya, kami merayakannya dengan meriah karena tanggalnya yang berdekatan dengan tahun baru. Seharusnya kami saat ini sedang berbahagia. Seharusnya kami sedang tersenyum dan tertawa bersama. Tapi apalah daya, takdir berkata lain.
Disaat orang-orang merayakan tahun baru dengan keluarganya. Aku di sini bersama keluargaku meratapi kesedihan. Terdengar suara kembang api pertanda pergantian tahun baru, tetapi aku hanya bisa duduk terdiam di dalam kamarku. Seperti kesedihanku sedang dirayakan.
Bukan seperti ini perayaan yang kuharapkan. Bukan perayaan penuh kesedihan seperti ini. Selama ini aku berharap dapat merayakan ulang tahun dengan keluargaku, tetapi saat Tuhan mengabulkan doaku, ternyata perayaan yang datang tak seperti yang diharapkan. Peristiwa tahun baru ini yakan sangat melekat dalam ingatanku suatu saat nanti.