Langkah Besar Indonesia Hadapi Freeport

Selasa, 07/08/2018 - 13:46
Freeport Indonesia. (Net)
Freeport Indonesia. (Net)

Oleh : Muhammad Izmi )*

Pada tahun 2018, Indonesia dikabarkan telah berhasil membeli saham freeport sebesar 51 persen melalui PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang dapat dikatakan juga bahwa setelah lebih dari 40 tahun Freeport menjadi milik asing, akhirnya dapat diambil alih oleh Indonesia. Namun keputusan tersebut banyak mendapat komentar negatif dari berbagai kelompok akibat dari belum adanya pernyataan resmi dari Pemerintah dan banyaknya isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat melalui media online maupun media sosial.

Sebelumnya kita perlu melihat kembali sejarah Freeport, tambang yang pertama kali dimiliki oleh Freeport adalah Erstberg yang ditemukan pada tahun 1960 dan memutuskan untuk membuat kontrak karya yang pertama pada 1967 hingga 1997 dengan Indonesia. Pada sekitar tahun 1980, Freeport menemukan kembali tambang yang lebih besar dari Erstberg dan dinamakan Grasberg. Namun dikarenakan ukuran Grasberg yang terlalu besar, Freeport membutuhkan bantuan dana untuk membuat pertambangan baru dan memutuskan untuk melakukan join dengan Rio Tinto pada tahun 1985, dengan perjanjian ratio interest sebesar 60:40. Dari dasar hal tersebut Freeport meminta untuk membuat kontrak karya baru dengan Indonesia dari tahun 1991 hingga 2021 untuk lokasi penambangan di Grasberg.

Dari keterangan tersebut dapat diterima bahwa walaupun jika dilihat dari sisi saham equiti interest, terlihat bahwa Freeport memiliki saham sebesar 90,64 persen, Pemerintah atau Inalum memiliki saham 9,36 persen dan Rio Tinto memiliki saham 0 persen. Namun kalau dari sisi economic interest, Rio Tinto memiliki 40 persen dan Freeport 60 persen. Hal inilah yang menjadikan Inalum untuk melakukan negoisasi dengan Rio Tinto juga, karena apabila Indonesia memang ingin menguasai Freeport sebesar 51 persen Rio Tinto harus ikut masuk dalam perjanjian. Hal ini lah yang sering menjadi pertanyaan oleh masyarakat, kenapa ada nama Rio Tinto pada Head of Aggreament (HoA) yang ditandangani antara Inalum dengan Freeport pada 12 Juli 2018.

Mengutip dari halaman resmi PTFI, ptfi.co.id disebutkan isi dari Head of Agreement poin pertamanya adalah izin PTFI yang akan diubah dari Kontrak Kerja menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan sekaligus memberikan hak operasi hingga 2041. kedua Pemerintah menjamin kepastian fiskal dan hukum selama jangka waktu IUPK berlaku. Ketiga PTFI berkomitmen membangun smelter baru di Indonesia dalam jangka waktu lima tahun. dan keempat, Freeport McMoran Incoperated (FCX) setuju divestasi kepemilikanya di PTFI berdasarkan harga pasar yang wajar sehingga kepemilikan Indonesia atas PTFI jadi 51 persen. HoA yang telah disepakti ini bukanlah proses akhir namun sebuah frame dari langkah awal yang memang harus dilaksankan demi kesepakatan transasksi yang jelas dan dasar dari rencana kegiatan nantinya.

Namun demikian banyak masyarakat dan pihak oposisi dari Pemerintah yang mempertanyakan langkah pemerintah tersebut, yaitu mengapa Pemerintah tidak menunggu kontrak Freeport habis pada 2021 sehingga untuk menguasai tambang Grasberg di Mimika, Papua, Inalum tidak perlu merogoh kocek atau gratis.

Menanggapi hal tersebut Head of Corporate Communication and Government Relation Inalum, Rendy Witoelar mengatakan sesaui dengan Pasal 31 ayat 2 KK yaitu bahwa Freeport Indonesia mempunyai interpletasi KK yang berbeda dengan Pemerintah. PTFI mengakui kalau KK akan berakhir pada tahun 2021, namun mereka beranggapan berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara tidak wajar. Jadi berakhir atau tidaknya pada 2021 akan tetap menjadi perdebatan karena FCX menafsirkan harus adanya perpanjangan KK hingga 2041, sehingga berpotensi berakhir di arbitrase dan tidak ada jaminan 100 persen Indonesia akan menang. Ditambah pada pasal 22 ayat 1 KK menyatakan bahwa Pemerintah harus membeli seluruh kekayaan Freeport Indonesia yang bergerak dengan nilai tidak lebih rendah dari book velue yaitu USD 6 milliar, selain itu Pemerintah juga wajib membeli pembangkit listrik senilai Rp 2 Trilliun disana. Selain itu, apabila Indonesia tidak memperpanjang operasi PTFI, dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan block caving yang dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen, dan jika ini terjadi maka Pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk memulihkan kondisi sekitar operasi tambang.

Tidak kecil harga yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesepakatan tersebut, Inalum harus membayar sebasar USD 3,85 milliar atau sekitar Rp 55 Trilliun, dengan rincian USD 3,5 milliar untuk Rico Tinto dan USD 350 juta untuk Indocopper. Untuk mengumpulkan dana tersebut Inalum berencana untuk meminjam uang dari Bank Luar Negeri dengan jaminan provit operasi bukan saham sehingga Bank Luar negeri tidak memiliki kemampuan untuk ikut mengikat kebijakan yang akan diterapkan nantinya di Inalum. Bukan tanpa alasan Inalum memilih bank luar negeri, hal ini dikarenakan untuk menghindari tekanan kepada rupiah, dengan meminjam dari luar negeri maka akan lebih banyak dollar yang masuk ke Indonesia.

Langkah besar pengembangan ESDM Nasional ini banyak diapresiasi oleh dunia beberapa diantaranya adalah media Singapura The Straits Times yang menyebut penandatanganan saham Freeport yang dilakukan Indonesia sebagai ‘Kesepakatan Monumental’ dari administrasi Prsiden Jokowi untuk menegaskan hak atas sumber daya alam negaranya, Media Nikkei Asia Review dari Jepang menyatakan apabila Presiden Jokowi memiliki tekad yang besar untuk membawa sumber daya nasional strategis menuju kendali negara, dan Wall Streat Jounal menyatakan bahwa perjanjian tersebut merupakan suatu kebangkitan Nasional Indonesia.

Walaupun banyak mendapat kritikan dari berbagai kelompok, Pemerintah tetap bersitegas bahwa langkah yang diambil kali ini merupakan langkah maju dan lebih baik untuk Indonesia kedepanya. Sebagai masyarakat Indonesia kita harus ikut menyambut kabar tersebut dengan gembira dikarenakan akan banyak keuntungan nantinya mulai dari lapangan kerja hingga memicu pembangunan di wilayah Indonesia lain yang lebih merata.

)* Penulis adalah Mahasiswa UIN Mataram

Related News