Pemimpin Korup di Provinsi 'Gagal'

Rabu, 30/05/2018 - 10:26
Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi Korupsi

Oleh: Benny Hakim Benardie

“Bila ingin melihat sifat dan tabiat pemimpin suatu negeri, lihatlah rakyatnya”. Pemimpin di angkat atau dipilih rakyat, karena sosok yang mempunyai sifat dan tabiat sepaham dengan rakyatnya.

Penulis hanya ingin menyampaikan nasehat dari apa yang terpapar dan kurang berani  untuk mengkritik. Seperti kata pepatah melayu, “Nasehat itu ibarat orang asing. Bila di terima, ia akan tinggal semalam, tetapi bila di tolak ia pulang hari itu juga”.

Ulah korupsi yang dilakukan pemimpin ataupun yang didelegasikan seperti assisten, kepala bidang hingga pelaksana tugas dilapangan,  bukan hal yang baru terjadi. Mungkin saja hal itu sama adanya di provinsi-provinsi di Indonesia. Sejak zaman Orde Baru  hingga zaman reformasi saat ini.

Realitasnya, Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi atas fungsi penyelenggaraan negara dalam merugikan perekonomian negara.

Arti harfiah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. (The Lexicon Webster Dictionary 1978). Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”. Jadi amat sangat wajar korupsi juga merupakan bahaya laten, karena dapat menghancurkan negara.

Pemimpin memerlukan sifat dan tabiat dasar, Pemimpin yang korup merupakan perilaku pemimpin yang tidak mematuhi prinsip. Tindakan korupsi yang dilakukan minimal Pungli saja, itu bagian pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.

Benarkah itu Manusiawi?

Korupsi merupakan bahaya laten, karena ancaman yang ditimbulkannya menganggu stabilitas dan keamanan masyarakat. Korupsi merusak institusi negara, norma demokrasi, nilai-nilai etika, keadilan dan membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Tentunya tidak mengenyampingkan bentuk kejahatan khusus terorganisir seperti kejahatan ekonomi dan pencucian uang.

Pertanyaannya, apakah tindakan korupsi itu manusiawi? Bila kita kataakan itu kelemahan manusia ada benarnya, karena kelemahan inilah yang acap dieksploitasi, terutama di sekitar uang dan kekuasaan. Tindakan itu akan tetap ada disetiap massa. Semua manusia menginginkan kekayaan dan dorongan untuk itu berjalan dalam kekuasaan. Apalagi uang dikatakan standar kualitas hidup dan keamanan tertentu.

Merupakan sifat manusia juga kalau setiap pemimpin berlaku tamak, Apalagi untuk menjadi pemimpin mulai dari gubernur, wali Kota/bupati  dan seterusnya, bukan termasuk katagori orang miskin. Karena untuk menjabat itu ada biaya yang di butuhkan, termasuk untuk mempertahankan kekuasaan.

Pada dasarnya, masyarakat itu bagaimana pemimpinnya. “Ikan itu busuk dari kepala, bukan dari ekor”. Bawahan akan mengangap lumrah korupsi, bila tindakan itu biasa dilakukan pemimpin dan masyarakat menganggap hal itu sebagai kebenaran.

Bila ulah sudah menjadi tradisi apalagi adat yang teradatkan, maka langkahnya adalah penindakan hukum harus ditegakan dengan tegas. KPK, Kejaksaan dan Kepolisian  melakukan tugas dan fungsinya. Banyak para pejabat ditankap dan dikenakan sanksi.

Dilalanya, apa yang dilakukan untuk menuju yang lebih baik menimbulkan ketakutan. Banyak yang menolak jabatan yang diberikan. Akibatnya  pembangunan yang sudah diprogramkan mendapat kendala. Timbul masalah baru terhadap pembangunan. Provinsi akan mengalami stagnansi kemajuan. Inilah yang dimaksud provinsi yang 'gagal'.

*Jurnalis tinggal di Bengkulu

Tags

Related News